Minggu, 13 Januari 2013

PENDIDIKAN INKLUSI



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Anak berkebutuhan khusus sudah semestinya mendapatkan pelayanan yang layak demi kelangsungan hidupnya. Mereka tidak hanya disekolahkan disekolah luar biasa, tetapi dapat juga ditempatkan disekolah biasa atau yang disebut dengan pendidikan inklusi. Adapun beberapa landasan tentang pendidkan inklusi yaitu salah satunya  landasan Yuridis yaitu UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus.  Selain itu juga alasan perlunya pendidikan inklusi adalah: pendidikan inklusi lebih terjamin terbentuknya masyarakat yang demokratis, pendidikan inklusi lebih sesuai dengan nilai-niali kemanusiaan dan pandangan hidup yang dianut oleh bangsa Indonesia, pendidikan inklusif yang dikelola secara benar dapat menghindarkan siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus terbebas dari rasa rendah diri atau arogansi bagi yang dikaruniai keunggulan, pendidikan inklusif memungkinkan siswa untuk menghargai perbedaan. Berdasarkan landasan dan beberapa alasan tersebut maka anak berkebutuhan khusus sudah semestinya mendapatkan pelayanan yang layak demi kelansungan hidupnya. Salah satu anak yang tergolang kedalam anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan  gangguan fisik (tuna daksa).

2.      Rumusan masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan anak tuna daksa?
b.      Apa saja pengklasifikasian anak Tuna Daksa?
c.       Bagaimana karakterisrik anak tuna daksa?
d.      Apa saja tujuan pendidikan anak tuna daksa?
e.       Bagaimana tempat pendidikan bagi anak tuna daksa?
f.       Bagaimana system pendidikan anak tuna daksa?
g.      Bagaimana pelaksanaan pembelajaran bagi anak tuna daksa?
h.      Siapa saja yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan  pendidikan anak tuna daksa?
i.        Bagaimana cara membantu siswa tuna daksa berhasil dikelas inklusif?
3.      Tujuan
a.       Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan anak tuna daksa
b.      Untuk mengetahui tentang pengklasifikasian anak tuna daksa
c.       Untuk mengetahui karakteristik anak tuna daksa
d.      Untuk memahami tentang tujuan pendidikan bagi anak tuna daksa
e.       Untuk memahami tempat pendidikan bagi anak tuna daksa
f.       Untuk mengetahui tentang bagaimana system pendidikan anak tuna daksa
g.      Untuk mengetahui Bagaimana pelaksanaan pembelajaran bagi anak tuna daksa
h.      Untuk mengetahui Siapa saja yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan  pendidikan anak tuna daksa
i.        Untuk memahami bagaimana cara membantu siswa tuna daksa berhasil dikelas inklusif












BAB II
ISI
1.      Pengertian anak Tuna Daksa
Anak tuna daksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tuna daksa berasal dari kata tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh. Tuna daksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indra nya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang dan persendian. Dengan demikian cacat orthopedi kelainanannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur system otot, tulang dan persendian.
Anak tuna daksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada system otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tuna daksa menyatakan bahwa anak tuna daksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya. Istilah tuna daksa maksudnya sama dengan istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped.
2.      Klasifikasi anak Tuna Daksa
Agar lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tuna daksa, perlu adanya system penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak tuna daksa bermacam-macam. Salah satu diantaranya dilihat dari system kelainannya yang terdiri dari:
a.       Kelainan pada system cerebral (celebral system)
b.      Kelainan pada system otot dan rangka (musculus skeletal system)
Penyandang kelainan pada system cerebral, kelainannya terletak pada system saraf pusat, seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak. Kadang-kadang juga terdapat gangguan pada panca indra, ingatan, dan psikologis (perasaan). Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy di klasifikasikan menjadi :
a.       Ringan, dengan ciri-ciri yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri
b.      Sedang, dengan ciri-ciri membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace
c.       Berat, dengan ciri-ciri yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi bicara dan menolong diri.
Sedangkan menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan atas:
a.       Spastic, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya
b.      Dyskenisia, yang meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau pada kepala)
c.       Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi), serta
d.      Jenis campuran (seseorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe diatas)
Golongan anak tuna daksa berikut ini tidak mustahil  belajar bersama anak normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Penggolongan anak tuna daksa dalam kelompok kelaianan system otot dan rangka tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Poliomyelitis
Ini merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi:
(1)    Tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki.
(2)   Tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tapi ditandai adanya gangguan pernapasan;
(3)   Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair
(4)   Encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Akibat penyakit polio poliomyelitis adalah otot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi  (kontraktur), pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok keluar atau kedalam, dislokasi (sendi yang keluar dari dudukannya), lutut melenting kebelakang (genu recorvatum).
b.      Muscle dystrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
c.       Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya 1 atau 3 ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan.

3.      Karakteristik anak tuna daksa
a.       Karakteristik akademik
Karakteristik akademik anak tuna daksa meliputi cirri khas kecerdasan, kemampuan kognisi, persepsi dan simbolisasi mengalami kelainan karena terganggunya system cerebral sehingga mengalami hambatan dalam belajar dan mengurus diri. Anak tuna daksa karena kelainanan pada system otot dan rangka tidak terganggu sehingga dapat belajar, seperti anak normal.

b.      Karakteristik social/emosional
Anak tuna daksa menunjukkan bahwa konsep diri dan respon serta sikap masyarakat yang negative terhadap anak tuna daksa mengakibatkan anak tuna daksa merasa  tidak mampu, tidak berguna, dan menjadi rendah diri. Akibatnya, kepercayaan dirinya hilang dan akhirnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan social nya. Mereka juga menunjukkan sikap mudah tersinggung, mudah marah, lekas putus asa, rendah diri, kurang dapat bergaul, malu dan suka menyendiri, serta frustasi berat.
c.       Karakteristik fisik/kesehatan
Anak tuna daksa biasanya selain mengalami cacat tubuh  juga mengalami gangguan lain seperti sakit gigi, gangguan bicara dan gangguan motorik.

4.      Tujuan pendidikan anak tuna daksa
Tujuan pendidikan anak tuna daksa mengacu pada peraturan pemerintah No. 72 tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan . Dalam pendidikan anak tuna daksa perlu dikembangkan 7 aspek yang diadaptasikan sebagai berikut:
a.       Pengembangan intelektual dan akdemik
Pengembangann aspek ini dapat dilaksanakan secara formal disekolah melalui kegiatan pembelajaran. Disekolah khusus anak tuna daksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian khusus pada anak tuna daksa untuk mengoptimalkan perkembangan inteklektual dan akdemiknya.
b.      Membantu perkembangan fisik
Oleh karena anak tuna daksa mengalami kecacatan fisik maka dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara kesehatan fisik anak , mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan kearah gerak yang normal.
c.       Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.
d.      Memantangkan aspek social
Aspek social yang meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tuna daksa agar turut serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.
e.       Mematangkan moral dan spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya
f.       Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tuna daksa  perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan atau kerajinan
g.      Mempersiapkan masa depan anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya, membekali  mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya.
Ketujuh sasaran pendidikan tersebut diatas sebenarnya bersifat dual purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tuna daksa.
5.      Tempat pendidikan
Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan jumlah peserta didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak tuna daksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut:
a.       Sekolah khusus berasrama (Full-Time Residential School)
Model ini diperuntukkan bagi anak tuna daksa yang derajat kelainanya berat dan sangat berat .
b.      Sekolah khusus tanpa asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan bagi anak tuna daksa yang memiliki kemampuan pulang pergi kesekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah.
c.       Kelas khusus penuh (full-Time Special Class)
Anak tuna daksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogen dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
d.      Kelas reguler dan khusus (Part-time Reguler Class and Part-Time Special Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tuna daksa dengan anak normal, pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak tuna daksa mengalami kesulitan mereka belajar dikelas khusus.
e.        Kelas reguler dibantu oleh guru khusus (Reguler Class with Supportive instructional service)
Anak tuna daksa bersekolah bersama-sama anak normal disekolah umum dengan  bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan
f.       Kelas biasa dengan layanan konsultasi untuk guru umum (Reguler Class Placement with consulting Service for Reguler Teachers )
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum. Anak tuna daksa belajar bersama dengan anak normal disekolah umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.
g.      Kelas biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tuna daksa yang memilki kecerdasan normal, memilki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal.

6.      System pendidikan
Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka system pendidikan anak tuna daksa dapat dikemukakan sebagai berikut:
A.    Pendidikan integrasi (terpadu)
Walaupun pendidikan anak tuna daksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur khusus, yaitu anak tuna daksa di tempatkan secara khusus di SLB-D (sekolah luar biasa bagian D), namun anak tuna daksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan disekolah biasa. Sementara ini anak tuna daksa yang mengikuti pendidikan disekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik. Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tuna daksa apabila ditempatkan disekolah umum adalah sebagai berikut:
a.       Penempatan dikelas regular
Hal-hal yang perlu di perhatikan adalah sebagai berikut :
(1)   Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tuna daksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda.  
(2)   Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tuna daksa karena anak sering tidak masuk sekolah
(3)   Guru harus mengadakan kontak secara intensif  dengan siswa nya untuk melihat masalah fisiknya secara lansung
(4)   Perlu mengadakan rujukan keahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang lebih parah
b.      Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya dikelas reguler karena ia sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh guru diruang sumber. Murid yang datang keruang sumber tergantung pada mateeri pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainanan fisik tingkat sedang dengan intelegensia normal. Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas regular karena selama anak dikelas khusus ia sering bermain, kekantin dan upacara bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).
                                 
B.     Pendidikan segregasi (terpisah)
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tuna daksa yang ditempatkan ditempat khusus, seperti sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Tuna daksa 1994 (SK Mendikbud,1994). Perangkat kurikulum Pendidikan luar Biasa 1994 terdiri atas komponen berikut:
a.       Landasan, program dan pengembangan kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang dijadikan acuan dan pedoman dalam pngembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan ditingkat nasional dan daerah
b.      Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat: pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran, pokok bahasan tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu-rambu pelaksanaanya dan uraian /cara pembelajaran yang disarankan
c.       Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah dan pedoman penilaian kegiatan dan hasil belajar.
Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai   berikut:
a.       TKLB (Taman Kanak-Kanak Luar Biasa) berlansung satu samapai tiga tahun dan isi kurikulumnya, meliputi pengembangan kemampuan dasar (Moral Pancasila,Agama, Disiplin, Perasaan, Emosi dan kemampuan bermasyarakat), pengembangan bahasa, daya pikir, daya cipta, keterampilan dan pendidikan jasmani. Usia anak yang diterima sekurang-kurangnya  3 tahun.
b.      SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlansung sekurang-kurangnya enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas: program umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,matematika, IPS, IPA, Kerajinan tangan, dan kesenian sertapendidikan jasmani dan kesehatan; program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan muatan local (Bahasa daerah, kesenian, dan Bahasa Inggris)
c.       SLTPLB (sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlansung sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas program umum (Pendidikan Pancasila, kewarganegaraan, pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, matematika, IPA,IPS, Pendidikan jasmani dan kesehatan, Bahasa Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program muatan local (Bahasa Daerah,Kesenian daerah)
d.      SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) ) berlansung sekurang-kurangnya 3 tahun, , dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program umum sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket keterampilan rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan kesenian. Dijenjang ini, anak tuna daksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.
                                                    
 Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk tiap jenjang adalah  TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata pelajaran  keterampilan dan praktek lebih banyak daripada mata pelajaran yang lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan bobot mata pelajaran lainnya  lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

7.      Pelaksanaan pembelajaran
Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlaksanaanya, seperti berikut:
a.       Perencanaan kegiatan belajar mengajar
Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak tuna daksa, Ronald L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan disekolah formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang di individualisasikan. Dalam rangka mengembangkan program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak informasi/data yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam merancang suatu program pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut:
(1)   Membentuk tim PPI atau tim penilaian program pendidikan yang diindividualisasikan (TP3I) , yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.
(2)   Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan assessment.
(3)   Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek
(4)   Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan
(5)   Menentukan metode dan evaluasi kemajuan
b.      Prinsip pembelajaran
Ada beberapa prinsip utam dalam memberikan pendidikan pada anak tuna daksa, diantaranya sebagai berikut:
(1)   Prinsip multisensory (banyak indra)
Proses pendidikan anak tuna daksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tun daksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensory, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman

(2)   Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya  dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

c.       Penataan lingkungan
Berhubung anak tuna daksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kgiatan anak tuna daksa disekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada diruangan itu mudah digunakan. Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut:
(1)   Macam-macam ruangan khusus seperti ruang poliklinik/ UKS untuk pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang bermain serta lapangan
(2)   Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak tuna daksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk dan lain-lain dapat bergerak dengan aman
(3)    Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
(4)   Lantai bangunan baik didalam dan diluar geedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin
(5)   Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup kedalam
(6)   Untuk menghubungkan bangunan/ kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan ditembok agar anak dapat mandiri berambulasi.
(7)   Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang beberapa cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah
(8)   Kamar mandi/ kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya
(9)   Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya
(10)                       Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursidi modifikasi dan dipasang belt (sabuk) agar aman.

8.       Personel
Personel yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak tuna daksa adalah berikut ini:
a.       Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pndidikan anak tuna daksa
b.      Guru yang memilki keahlian khusus, misalnya keterampilan dan kesenian
c.       Guru sekolah biasa
d.      Dokter umum
e.       Dokter ahli ortopedi
f.       Neurolog
g.      Ahli terapi lainny, sperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan bimbingan konseling serta orthotist prosthetist

9.      Cara membantu siswa tuna daksa berhasil dikelas inklusif
Lingkungan yang paling kondusif guna pembelajaran siswa-siswa berkelainan fisik adalah kelas regular. Dalam rangka mempelajari dengan baik cara hidup disuatu lingkungan komunitas yang berbeda sebagai orang dewasa, anak-anak dan remaja dibutuhkan suatu kelas dan sekolah yang paling inklusif yang tepat bagi kebutuhan pendidikan, social dan fisik mereka. integrasi siswa-siswa ini memerlukan penggabungan tenaga konsultan yang efektif dikelas. Hal yang sama penting bagi adaptasi dan terapi fisik yaitu susasana sikap dikelas. Sikap-sikap yang diterima dikelas menciptakan konteks yang tepat dalam membantu kemandirian yang akan diperlukan siswa berkelainan fisik dalam kehidupan sebagai orang dewasa. Adapun beberapa cara membantu siswa tuna daksa/ berkelainan fisik berhasil dikelas inklusif adalah sebagai berikut:

a.       Pengajaran kemandirian yang optimal
Penekanan dalam pengajaran bagi siswa-siswa ini harus pada kemandirian yang optimal dan memperhatikan perbedaan antarpribadi (self-determination). Melalui pengajaran kepada mereka maka keahliannya dibutuhkan bagi kemandirian pribadi, percaya diri dan self-esteem dapat diperkokoh juga. Kamampuan siswa dalam menegakkan hubungan social dapat ditingkatkan sehingga dia menjadi lebih mandiri.
Beberapa cara dalam mendorong perbedaan antar pribadi dalam diri siswa dengan keterbatasan gerak (disaktivitas) adalah sebagai berikut:
(1)   Mengajarkan pilihan, pembuatan keputusan dan kemampuan perlindungan diri (self-advocacy)
(2)   Membangun lingkungan sekolah yang menjamin kesemapatan dalam memilih
(3)   Berfungsi sebagai sumber daya, baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat
(4)   Menjadi penasihat perubahan masyarakat dan dukungan pendampingan orang tua
(5)   Dukungan masyarakat dalam mempermudah kebutuhan anak-anak ini
(6)   Membentuk kemitraan dengan para pengusaha dan masyarakat

b.      Belajar kelompok
Belajar kelompok disekolah seringkali dilakukan dengan tujuna menciptakan kamampuan atau ketrampilan yang lebih homogen. Pengelompokan yang fleksibel (flexible grouping) adalah suatu teknik yang memberikan siswa dengan dan tanpa kelainan bekerja sama kearah pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Pengelompokan siswa ini dapat dibentuk dan diubah disesuaikan agar tujuan pembelajarannya yang utama dapat dipenuhi dan mengembangkan hall yang baru. Flexible grouping  meliputi sekurang-kurangnya dua orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang, tiap anggota kelompok didorong untuk memberikan tugas yang dekat dan tertentu menurut kemampuannya. Flexible grouping mungkin cara yang terbaik dalam melibatkan siswa yang berkelainan dalam kegiatan seni, proyek penelitian studi social atau aktivitas lainnya yang menjadikan individu yang berbeda memberikan sumbangan bagi usaha-usaha kelompok.
Pengelompokan kerja sama (cooperative grouping) adalah pembentukan kelompok kecil dari siswa yang memiliki kemampuan dan keahlian berbeda. Kelompok ini terdiri atas 4 atau 5 orang siswa. Setiap kelompok harus dibentuk berdasarkan minat atau persahabatan. Tiap anggota kelompok saling membantu dalam memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditentukan untuk pembelajaran. Anggota kelompok didorong untuk saling membantu. Kerja sama kelompok dapat dipakai dalam pengajaran kemampuan membaca dan matematika. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan cooperative grouping menghasilkan hubungan yang lebih kuat diantara siswa dan pencapaian akademis yang lebih tinggi.
Grouping dapat memberikan siswa kepuasan akan pengajaran dan saling mendukung. Bahkan yang lebih penting dapat mempermudah penegakan persahabatan yang akan tumbuh.

c.       Team teaching
Hal yang paling penting bagi pembentukan kelas dan sekolah yang lebih inklusif adalah pendidik bekerja sama lebih kooperatif dalam memberikan lingkungan pembelajaran yang kondusif serta pengajaran yang efektif bagi semua siswa yang berkelainan, namun juga memberikan hasil pembelajaran yang meningkat bagi siswa lain. Telah ditunjukkan bahwa dengan perencanaan dan jadwal secara seksama, serta pembuatan tujuan yang terartikulasi dengan jelas, siswa berkelainan dapat diberi pengajaran secara efektif bersama siswa yang tidak mempunyai kelaianan.
Beberapa keuntungan team teaching yang berlansung baik untuk siswa berkelainan maupun tanpa kelaianan diantaranya: pengembangan kemampuan perancangan yang lebih baik, peningkatan kemampuan memecahkan masalah, menambah harga diri (self esteem), meningkatkan kemampuan komunikasi, kemampuan social yang efektif dan lebih memuaskan serta menambah pembelajaran akademis.
Teaching partnership harus dibangun diatas kerja sama,kepercayaan, dan komunikasi. Teaching partner memerlukan perubahan dan kompromi diantara rekanan kerja yang menyeluruh. Guru dalam satu program team teaching menitikberatkan kebutuhan bagi pertumbuhan nilai-nilai kolaborasi dan pmemperhatikan partner-partnernya untuk diberikan kesempatan saling mengenal satu sama lain serta saling bertanya. Dalam kenyataan, prinsip kemitraan dalam team of teacher sering mengarah pada perkawinan. “Perkawinan” guru kelas regular dan guru pendidikan khusus yang dibangun diatas kekuatan-kekuatan perbedaan sehingga mereka akan menjadi kuat dan produktif. Guru regular dapat memberikan porsi yang lebih besar kepada pasangannya tentang bidang mata pelajaran atau bidang pengetahuan tertentu. Sedangkan guru/ pendidik khusus mendapat pengetahuan yang lebih banyak mengenai kurikulum yang disamakan dan metodologi dalam memenuhi kebutuhan individual. “ Perkawinan” dan kekuatan ini dapat memberikan suatu lingkungan pembelajaran yang lebih produktif bagi semua siswa.


 




















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Tujuan pendidikan anak tuna daksa mengacu pada peraturan pemerintah No. 72 tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan . Dalam pendidikan anak tuna daksa perlu dikembangkan 7 aspek. Anak tuna daksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut: Sekolah khusus berasrama (Full-Time Residential School), Sekolah khusus tanpa asrama (Special Day School), Kelas khusus penuh (full-Time Special Class), Kelas reguler dan khusus (Part-time Reguler Class and Part-Time Special Class), Kelas reguler dibantu oleh guru khusus (Reguler Class with Supportive instructional service), Kelas biasa dengan layanan konsultasi untuk guru umum (Reguler Class Placement with consulting Service for Reguler Teachers ) dan Kelas biasa (Reguler Class).

2.      Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita,terutama kita calon guru PAUD dapat memahami bagaimana anak berkebutuhan khusus disekolahkan disekolah biasa.










DAFTAR PUSTAKA
Marilyn Friend. 2005. Special Education Contemporaray Perspektive For School Profecy. Printed in the United States: America.

Sujihati Somantri. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Refika Aditama

Direktorat Pendidikan Luar Biasa. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

David smith. 1998. Sekolah inklusif. Bandung: Seri Pencerdasan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar