Purdi E. Chandra dilahirkan di
Lampung pada tanggal 9 September 1959, Purdi muda memulai berbisnis saat
mendirikan lembaga pendidikan tes Primagama pada 10 Maret 1982. Dengan jatuh
bangun Purdi menjalankan Primagama dari semula satu outlet dengan hanya dua
murid menjadi ratusan outlet dengan ratusan ribu murid pertahunnya. Bahkan kini
Primagama sudah menjadi holding company yang membawahi lebih dari 20 perusahaan
yang bergerak di berbagai bidang. Sosok Purdi E.
Chandra kini dikenal sebagai pengusaha yang sukses. Lembaga Bimbingan Belajar
(Bimbel) Primagama yang didirikannya bahkan masuk ke Museum Rekor Indonesia
(MURI) lantaran memiliki 181 cabang di 96 kota besar di Indonesia dengan 100
ribu siswa tiap tahun. Apa resep suksesnya sehingga Primagama kini menjadi
sebuah holding company yang membawahi lebih dari 20 anak perusahaan?
Lego Motor, Berhenti
Kuliah
Bukan suatu
kebetulan jika pengusaha sukses identik dengan kenekatan mereka untuk berhenti
sekolah atau kuliah. Seorang pengusaha sukses tidak ditentukan gelar sama
sekali. Inilah yang dipercaya Purdi ketika baru membangun usahanya.
Kuliah di 4
jurusan yang berbeda, Psikologi, Elektro, Sastra Inggris dan Farmasi di
Universitas Gajah Mada (UGM) dan IKIP Yogya membuktikan kecemerlangan otak
Purdi. Hanya saja ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan pola kuliah yang
menurutnya membosankan. Ia yakin, gagal meraih gelar sarjana bukan berarti
gagal meraih cita-cita. Purdi muda yang penuh cita -cita dan idealisme ini pun
nekad meninggalkan bangku kuliah dan mulai serius untuk berbisnis. Sejak
saat itu pria kelahiran Punggur, Lampung Tengah ini mulai menajamkan intuisi
bisnisnya. Dia melihat tingginya antusiasme siswa SMA yang ingin masuk
perguruan tinggi negeri yang punya nama, seperti UGM. Bagaimana jika
mereka dibantu untuk memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi,
pikirnya waktu itu. Purdi lalu mendapatkan ide untuk mendirikan bimbingan
belajar yang diberi nama, Primagama.
Saya mulai
usaha sejak tahun 1982. Mungkin karena nggak selesai kuliah itu yang memotivasi
saya menjadi pengusaha, kisah Purdi. Lalu, dengan modal hasil melego motornya
seharga 300 ribu rupiah, ia mendirikan Bimbel Primagama dengan menyewa tempat
kecil dan disekat menjadi dua. Muridnya hanya 2 orang. Itu pun tetangga. Biaya
les cuma 50 ribu untuk dua bulan. Kalau tidak ada les maka uangnya bisa
dikembalikan.
Segala upaya
dilakukan Purdi untuk membangun usahanya. Dua tahun setelah itu nama Primagama
mulai dikenal. Muridnya bertambah banyak. Setelah sukses, banyak yang meniru
nama Primagama. Purdi pun berinovasi untuk meningkatkan mutu lembaga
pendidikannya ini. Sebenarnya yang bikin Primagama maju itu setelah ada program
jaminan diri. Kalau ikut Primagama pasti diterima di Universitas Negeri. Kalau
nggak uang kembali. Nah, supaya diterima murid-murid yang pinter kita angkat
jadi pengajar. Karena yang ngebimbing pinter, ya 90% bisa lulus ujian masuk perguruan
tinggi negeri.
Mengembangkan Sistem
Waralaba
Karena
reputasinya Bimbel Primagama makin dikenal di Kota Pelajar, Yogya. Purdi tak
cepat berpuas diri. Ia ingin mengembangkan cabang Primagama di kota lain.
Mulailah cabang-cabang Primagama bermunculan di Bandung, Jakarta dan kota besar
lain di Indonesia.
Purdi juga
berinovasi mengembangkan sistem franchise atau waralaba (pemberian hak pada
seseorang dalam penggunaan merek untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu
tertentu). Di Pekanbaru, Sampit ( Kalimantan Tengah) dan Tangerang telah dibuka
cabang dengan sistem ini. Menurutnya sistem ini sangat tepat untuk dikembangkan
sebab usaha bisa berkembang tanpa harus menyiapkan dana sendiri.
Sistem ini
lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita daripada cara yang lainnya.
Selain tak perlu merogoh kocek untuk investasi lagi ternyata keuntungan sebagai
pemilik merek cukup besar. Yang jelas orang lain membayar merek dan royalti
tiap bulannya pada kita, jelas ayah dari Fesha dan Zidan ini.
Purdi yakin
merek lokal bisa berkembang dengan sistem ini dan bukan terbatas pada produk
makanan saja. Jika merek lokal bisa masuk bisnis waralaba bukan tidak mungkin
akan menjadi produk ini bisa jadi produk global seperti McDonald. Namun ia
menyayangkan di Indonesia belum ada lembaga yang menyiapkan sistem waralaba
mulai dari persiapan awal hingga jadi.
Pengusaha Yang Berani
Keberanian
adalah salah modal wirausaha. Purdi menyatakan seorang wirausaha harus berani
mimpi, berani mencoba, berani merantau, berani gagal dan berani sukses. Lima
hal ini adalah hasil dari pengalamannya selama ini.
Sejak dini
Purdi sudah dididik berjiwa usaha. Di bangku SMP ia sudah beternak ayam dan
bebek, kemudian menjual telurnya ke pasar. Purdi bermimpi kelak ia akan menjadi
pengusaha sukses. Berani mimpi menurut Purdi adalah cetak biru dari sebuah visi
ke depan seorang wirausaha. Mimpi itu akan mensugesti seseorang untuk berhasil
dan mengerahkan semua kemampuannya untuk mencapai visinya. Mimpi ini pula akan
memotivasi bawahannya dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih dinamis.
Orang yang
memiliki mimpi besar dicontohkan Purdi adalah Bill Gates yang bermimpi kelak di
semua rumah di dunia akan memiliki computer. Atau juga Michael Dell yang
bermimpi mengalahkan perusahaan komputer raksasa IBM. Mereka ini menurut Purdi
orang yang yakin mimpinya akan jadi kenyataan dengan kerja keras. Orang itu
tidak pernah gagal, hanya saja dia
berhenti mencoba, tukas pria yang mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan
yang dibentuknya sendiri. Purdi mengingatkan jika seorang ingin berhasil dalam bisnis
harus berani mencoba. Situasi sulit justru membuat seorang wirausaha semakin
tertantang.
Soal merantau, Purdi muda sudah berani
meninggalkan kota kelahirannya dan mencoba mandiri dengan bersekolah di salah
satu SMA di Yogyakarta. Ibunya, Siti Wasingah dan ayahnya, Mujiyono, merestui
keinginan kuat anaknya untuk mandiri. Dengan merantau Purdi merasa tidak
tergantung dan bisa melihat berbagai kelemahan yang dia miliki. Pelan-pelan
berbagai kelemahan itu diperbaiki oleh Purdi. Hasilnya, Ia mengaku semakin
percaya diri dan tahan banting dalam setiap langkah dalam bisnisnya. Gagal dan
berhasil ada dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Namun, bagaimana
menyikapi sebuah kegagalan itu yang penting. Baginya, pengalaman gagal dapat
dipergunakan untuk menemukan kekuatan baru agar bisa meraih kesuksesan kembali.
Mungkin saja
kegagalan itu datang untuk memuliakan hati kita, membersihkan pikiran kita,
memperluas wawasan kita, membersihkan pikiran kita dari keangkuhan dan
kepicikan, serta untuk lebih mendekatkan diri kita pada Tuhan, kata pria yang
mengaku pernah 10 kali gagal saat membuat restoran Padang.
BODOL, BOTOL dan BOBOL
Purdi mengaku
punya resep manjur bagi yang ingin berwirausaha, yaitu BODOL, BOTOL dan BOBOL.
Mungkin masih kedengaran aneh di telinga, namun ia meyakinkan bahwa resep ini
berguna bagi yang merasa ragu-ragu dan terlalu banyak perhitungan dalam
berusaha yang malah menghambat rencana mereka untuk berwirausaha. Jika orang
bingung ketika memulai bisnis karena tak punya modal, menurut Purdi gunakan
saja resep BODOL yaitu Berani, Optimis, Duit, Orang Lain. Dalam bisnis
diperlukan keberanian dan rasa optimis. Jika tidak punya uang tidak ada
salahnya pinjam duit orang lain. Pasti ada orang yang mau membiayai bisnis yang
akan kita jalankan jika memang prospektif.
Kalau kita
punya duit dan modal tapi tidak ahli di bidang bisnis, gunakan jurus BOTOL,
tukas Purdi. Berani, Optimis, Tenaga, Orang Lain. Jika kita punya modal, kenapa
tidak kita serahkan pada yang ahli di bidangnya sehingga bisnis tetap berjalan.
Pendeknya kita tak harus menggunakan tenaga sendiri untuk menjalankan bisnis.
Resep terakhir adalah jurus BOBOL. yaitu Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain.
Ini dikeluarkan jika ide bisnis pun tak ada maka kita bisa meniru bisnis orang
lain tambah Purdi. Ibaratnya, bisnis adalah seperti masuk ke kamar mandi yaitu
dengan tidak banyak berpikir. Jika di kamar mandi airnya kurang hangat, semua
bisa diatur hingga sesuai dengan keinginan kita.
Enterpreuner University,
Kuliah Tanpa Gelar
Semua orang
bisa jadi wirausahawan. Memang yang paling baik ditanamkan pendidikan
enterpreuner ini sejak kanak-kanak di dalam keluarga. Sebab, anak akan merekam
semuanya dalam memorinya dan selanjutnya akan menjadi pola pikir dan cara perilaku
anak di masa depannya. Namun, itu bukanlah hal-hal penentu keberhasilan. Begitu
pula dengan faktor usia, kaya-miskin, jenius atau tidak, juga gelar formal,
kata pria yang juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas ini. Untuk
menjadi pengusaha tak perlu pintar dan memiliki embel-embel gelar. Sebab jika
terlalu pintar justru malah akan berhitung dan melihat banyak resiko yang harus
dihadapi sehingga nyalinya malah ciut. Bayangkan anda kuliah Magister Manajemen
(MM) di UI anda harus bayar 50 juta. Selesai kuliah mungkin anda merasa tidak
punya uang, katanya lagi.
Keprihatinannya
terhadap iklim bisnis di Indonesia menyebabkan Purdi harus melakukan sesuatu.
Tampilah ia sebagai bagian dari politisi yang manggung di Senayan sampai tahun
ini. Keinginannya adalah merubah pola pendidikan saat ini yang berorientasi
menjadi pekerja bukan pengusaha. Seharusnya, menurut pria yang pernah menjadi
ketua Himpunan Penguasaha Muda Indonesia (HIPMI) cabang Yogya ini, ada
alternatif lain dalam sistem pendidikan kita. Paling tidak anak-anak diajarkan
untuk berwira usaha. Sayangnya idenya tidak mendapat tanggapan.
Saya merasa
adanya universitas untuk mencetak pengusaha baru itu penting. Kalau perlu
universitas ini tidak perlu menggunakan aturan formal, tanpa status,tanpa
akreditasi, tanpa dosen, tanpa ijazah dan tanpa gelar. Wisudanya pun dilakukan
saat mahasiswa benar-benar membuka usaha, ujar pria yang menerima Enterprise 50
dari Anderson Consulting dan Majalah Swa ini serius.
Idenya ini
diwujudkan dengan membentuk Enterpreuner University (EU).
Dengan dibimbing langsung oleh Purdi, EU kini telah memiliki 37 angkatan. Di
sana tak ada nilai, ijazah maupun gelar. Menurut Purdi masyarakatlah yang
berhak menilai pengusaha itu memiliki kredibilitas atau tidak, sukses atau
tidak. Hal ini berbeda dengan pendidikan yang memberlakukan ujian tapi tidak
membolehkan siswanya mencontek. Dalam dunia riil bisnis, yang namanya bertanya
sah-sah saja. Menyontek usaha orang lain juga boleh saja. Meniru kiat sukses
pengusaha lain juga silahkan. Nggak ada yang melarang, Purdi beralasan.
Di EU yang
hanya memakan waktu 6 bulan dan kuliah seminggu 2 kali ini, Purdi
mengkonsentrasikan pendidikannya pada pengembangan kecerdasan emosional,
spiritual, mempertajam kreativitas dan intuisi bisnis mahasiswanya. Materinya
pun seputar nilai-nilai kewirausahaan seperti pantang menyerah, kreatif dan
inovatif, semangat tinggi, berani dan jeli melihat peluang usaha. Purdi yakin
kelak EU akan mencetak pengusaha-pengusaha baru yang akan menggiatkan iklim
investasi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar