BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Anak berkebutuhan khusus sudah semestinya mendapatkan pelayanan yang layak
demi kelangsungan hidupnya. Mereka tidak hanya disekolahkan disekolah luar
biasa, tetapi dapat juga ditempatkan disekolah biasa atau yang disebut dengan
pendidikan inklusi. Adapun beberapa landasan tentang pendidkan inklusi yaitu
salah satunya landasan Yuridis yaitu UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional penyelenggaraan pendidikan
untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa
diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Selain itu juga alasan perlunya pendidikan
inklusi adalah: pendidikan inklusi lebih terjamin terbentuknya masyarakat yang
demokratis, pendidikan inklusi lebih sesuai dengan nilai-niali kemanusiaan dan
pandangan hidup yang dianut oleh bangsa Indonesia, pendidikan inklusif yang
dikelola secara benar dapat menghindarkan siswa yang membutuhkan layanan
pendidikan khusus terbebas dari rasa rendah diri atau arogansi bagi yang
dikaruniai keunggulan, pendidikan inklusif memungkinkan siswa untuk menghargai
perbedaan. Berdasarkan landasan dan beberapa alasan tersebut maka anak
berkebutuhan khusus sudah semestinya mendapatkan pelayanan yang layak demi
kelansungan hidupnya. Salah satu anak yang tergolang kedalam anak berkebutuhan
khusus adalah anak dengan gangguan fisik
(tuna daksa).
2. Rumusan masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan anak tuna daksa?
b.
Apa saja pengklasifikasian anak Tuna
Daksa?
c.
Bagaimana karakterisrik anak tuna daksa?
d.
Apa saja tujuan pendidikan anak tuna
daksa?
e.
Bagaimana tempat pendidikan bagi anak
tuna daksa?
f.
Bagaimana system pendidikan anak tuna
daksa?
g.
Bagaimana pelaksanaan pembelajaran bagi
anak tuna daksa?
h.
Siapa saja yang dibutuhkan dalam
penyelenggaraan pendidikan anak tuna
daksa?
i.
Bagaimana cara membantu siswa tuna daksa
berhasil dikelas inklusif?
3. Tujuan
a. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan anak tuna daksa
b. Untuk
mengetahui tentang pengklasifikasian anak tuna daksa
c. Untuk
mengetahui karakteristik anak tuna daksa
d. Untuk
memahami tentang tujuan pendidikan bagi anak tuna daksa
e. Untuk
memahami tempat pendidikan bagi anak tuna daksa
f. Untuk
mengetahui tentang bagaimana system pendidikan anak tuna daksa
g. Untuk
mengetahui Bagaimana pelaksanaan pembelajaran bagi anak tuna daksa
h. Untuk
mengetahui Siapa saja yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak tuna daksa
i.
Untuk memahami bagaimana cara membantu
siswa tuna daksa berhasil dikelas inklusif
BAB II
ISI
1.
Pengertian anak Tuna Daksa
Anak tuna daksa sering disebut dengan istilah anak
cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tuna daksa berasal dari
kata tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh. Tuna
daksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah
cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota
tubuhnya, bukan cacat indra nya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan
dari bahasa inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang
berhubungan dengan otot, tulang dan persendian. Dengan demikian cacat orthopedi
kelainanannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga
merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur system otot,
tulang dan persendian.
Anak tuna daksa dapat didefinisikan sebagai
penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada system otot, tulang dan
persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi,
mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi
mengenai anak tuna daksa menyatakan bahwa anak tuna daksa adalah anak
penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi
maupun saraf-sarafnya. Istilah tuna daksa maksudnya sama dengan istilah yang
berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan,
cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped.
2.
Klasifikasi anak Tuna Daksa
Agar lebih mudah memberikan layanan terhadap anak
tuna daksa, perlu adanya system penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak tuna
daksa bermacam-macam. Salah satu diantaranya dilihat dari system kelainannya
yang terdiri dari:
a. Kelainan
pada system cerebral (celebral system)
b. Kelainan
pada system otot dan rangka (musculus skeletal system)
Penyandang kelainan pada system
cerebral, kelainannya terletak pada system saraf pusat, seperti cerebral palsy
(CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak,
sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan
psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan
pada masa perkembangan otak. Kadang-kadang juga terdapat gangguan pada panca
indra, ingatan, dan psikologis (perasaan). Menurut derajat kecacatannya,
cerebral palsy di klasifikasikan menjadi :
a. Ringan,
dengan ciri-ciri yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat
menolong diri
b. Sedang,
dengan ciri-ciri membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,
mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace
c. Berat,
dengan ciri-ciri yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi bicara dan
menolong diri.
Sedangkan
menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan
atas:
a. Spastic,
dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya
b. Dyskenisia,
yang meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tak terkontrol),
rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), tremor
(getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau pada kepala)
c. Ataxia
(adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan
tidak berfungsi), serta
d. Jenis
campuran (seseorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe
diatas)
Golongan anak tuna daksa berikut ini tidak
mustahil belajar bersama anak normal dan
banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Penggolongan anak tuna daksa dalam
kelompok kelaianan system otot dan rangka tersebut adalah sebagai berikut:
a. Poliomyelitis
Ini
merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus
polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel
motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi:
(1) Tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau kelumpuhan
pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki.
(2) Tipe
bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tapi
ditandai adanya gangguan pernapasan;
(3) Tipe
bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair
(4) Encephalitis
yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan
pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan
atau alat-alat indra. Akibat penyakit polio poliomyelitis adalah otot menjadi
kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak,
tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti huruf S (Scoliosis),
kelainan telapak kaki yang membengkok keluar atau kedalam, dislokasi (sendi
yang keluar dari dudukannya), lutut melenting kebelakang (genu recorvatum).
b. Muscle
dystrophy
Jenis penyakit yang
mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya
progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
c. Spina
bifida
Merupakan jenis
kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya 1 atau 3 ruas
tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan.
Akibatnya, fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
hydrocephalus yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang
berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan.
3. Karakteristik
anak tuna daksa
a. Karakteristik
akademik
Karakteristik akademik
anak tuna daksa meliputi cirri khas kecerdasan, kemampuan kognisi, persepsi dan
simbolisasi mengalami kelainan karena terganggunya system cerebral sehingga
mengalami hambatan dalam belajar dan mengurus diri. Anak tuna daksa karena
kelainanan pada system otot dan rangka tidak terganggu sehingga dapat belajar,
seperti anak normal.
b. Karakteristik
social/emosional
Anak tuna daksa
menunjukkan bahwa konsep diri dan respon serta sikap masyarakat yang negative
terhadap anak tuna daksa mengakibatkan anak tuna daksa merasa tidak mampu, tidak berguna, dan menjadi rendah
diri. Akibatnya, kepercayaan dirinya hilang dan akhirnya tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan social nya. Mereka juga menunjukkan sikap
mudah tersinggung, mudah marah, lekas putus asa, rendah diri, kurang dapat
bergaul, malu dan suka menyendiri, serta frustasi berat.
c. Karakteristik
fisik/kesehatan
Anak tuna daksa
biasanya selain mengalami cacat tubuh
juga mengalami gangguan lain seperti sakit gigi, gangguan bicara dan
gangguan motorik.
4. Tujuan
pendidikan anak tuna daksa
Tujuan
pendidikan anak tuna daksa mengacu pada peraturan pemerintah No. 72 tahun 1991
agar peserta didik mampu mengembangkan sikap pengetahuan, dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal
balik dengan lingkungan social, budaya, dan alam sekitar serta dapat
mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan . Dalam
pendidikan anak tuna daksa perlu dikembangkan 7 aspek yang diadaptasikan
sebagai berikut:
a. Pengembangan
intelektual dan akdemik
Pengembangann aspek ini
dapat dilaksanakan secara formal disekolah melalui kegiatan pembelajaran.
Disekolah khusus anak tuna daksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum dengan
semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian
kesempatan dan perhatian khusus pada anak tuna daksa untuk mengoptimalkan perkembangan
inteklektual dan akdemiknya.
b. Membantu
perkembangan fisik
Oleh karena anak tuna
daksa mengalami kecacatan fisik maka dalam proses pendidikan guru harus turut
bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama
dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik.
Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak
memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara
kesehatan fisik anak , mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan
kearah gerak yang normal.
c. Meningkatkan
perkembangan emosi dan penerimaan diri anak dalam proses pendidikan, para guru
bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap
kecacatan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan
menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong
terciptanya interaksi yang harmonis.
d. Memantangkan
aspek social
Aspek social yang
meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu dikembangkan dengan
pemberian peran kepada anak tuna daksa agar turut serta bertanggung jawab atas
tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.
e. Mematangkan
moral dan spiritual
Dalam proses pendidikan
perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan dan keagamaan
untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya
f. Meningkatkan
ekspresi diri
Ekspresi diri anak tuna
daksa perlu ditingkatkan melalui
kegiatan kesenian, keterampilan atau kerajinan
g. Mempersiapkan
masa depan anak
Dalam proses pendidikan, guru dan
personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya,
membekali mereka dengan latihan
keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya.
Ketujuh
sasaran pendidikan tersebut diatas sebenarnya bersifat dual purpose (ganda),
yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam
pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan
pribadi anak tuna daksa.
5. Tempat
pendidikan
Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis,
derajat kelainan dan jumlah peserta didik diharapkan akan memperlancar proses
pendidikan. Anak tuna daksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat
berikut:
a. Sekolah
khusus berasrama (Full-Time Residential School)
Model ini diperuntukkan
bagi anak tuna daksa yang derajat kelainanya berat dan sangat berat .
b. Sekolah
khusus tanpa asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan
bagi anak tuna daksa yang memiliki kemampuan pulang pergi kesekolah atau tempat
tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah.
c. Kelas
khusus penuh (full-Time Special Class)
Anak tuna daksa yang
memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogen dilayani dalam kelas
khusus secara penuh.
d. Kelas
reguler dan khusus (Part-time Reguler Class and Part-Time Special Class)
Model ini digunakan
apabila menyatukan anak tuna daksa dengan anak normal, pada mata pelajaran
tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak tuna daksa
mengalami kesulitan mereka belajar dikelas khusus.
e. Kelas reguler dibantu oleh guru khusus
(Reguler Class with Supportive instructional service)
Anak tuna daksa
bersekolah bersama-sama anak normal disekolah umum dengan bantuan guru khusus apabila anak mengalami
kesulitan
f. Kelas
biasa dengan layanan konsultasi untuk guru umum (Reguler Class Placement with
consulting Service for Reguler Teachers )
Tanggung jawab
pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum. Anak tuna daksa
belajar bersama dengan anak normal disekolah umum, dan untuk membantu
kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru
reguler.
g. Kelas
biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan
bagi anak tuna daksa yang memilki kecerdasan normal, memilki potensi dan
kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal.
6. System
pendidikan
Sesuai
dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka system pendidikan anak tuna
daksa dapat dikemukakan sebagai berikut:
A. Pendidikan
integrasi (terpadu)
Walaupun pendidikan
anak tuna daksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur khusus, yaitu anak
tuna daksa di tempatkan secara khusus di SLB-D (sekolah luar biasa bagian D),
namun anak tuna daksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti
pendidikan disekolah biasa. Sementara ini anak tuna daksa yang mengikuti
pendidikan disekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa
memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, mereka
memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran yang
berkaitan dengan kegiatan fisik. Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan
bahwa adaptasi pendidikan anak tuna daksa apabila ditempatkan disekolah umum
adalah sebagai berikut:
a. Penempatan
dikelas regular
Hal-hal yang perlu di
perhatikan adalah sebagai berikut :
(1) Menyiapkan
lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tuna daksa untuk
bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak
besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda.
(2) Menyiapkan
program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tuna daksa karena anak sering
tidak masuk sekolah
(3) Guru
harus mengadakan kontak secara intensif
dengan siswa nya untuk melihat masalah fisiknya secara lansung
(4) Perlu
mengadakan rujukan keahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan
yang lebih parah
b. Penempatan
di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami
ketinggalan dari temannya dikelas reguler karena ia sakit-sakitan diberi
layanan tambahan oleh guru diruang sumber. Murid yang datang keruang sumber
tergantung pada mateeri pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa
yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainanan fisik
tingkat sedang dengan intelegensia normal. Misalnya, anak yang tidak dapat
berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai persiapan anak untuk
memasuki kelas regular karena selama anak dikelas khusus ia sering bermain,
kekantin dan upacara bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).
B. Pendidikan
segregasi (terpisah)
Penyelenggaraan
pendidikan bagi anak tuna daksa yang ditempatkan ditempat khusus, seperti
sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Tuna daksa
1994 (SK Mendikbud,1994). Perangkat kurikulum Pendidikan luar Biasa 1994
terdiri atas komponen berikut:
a. Landasan,
program dan pengembangan kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang
dijadikan acuan dan pedoman dalam pngembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan
pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama
pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan
penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan
ditingkat nasional dan daerah
b. Garis-garis
Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat: pengertian dan fungsi mata pelajaran,
tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran, pokok bahasan tema dan uraian tentang
kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu-rambu pelaksanaanya dan uraian
/cara pembelajaran yang disarankan
c. Pedoman
pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar mengajar,
rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah dan pedoman penilaian
kegiatan dan hasil belajar.
Lama pendidikan dan
penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai berikut:
a. TKLB
(Taman Kanak-Kanak Luar Biasa) berlansung satu samapai tiga tahun dan isi
kurikulumnya, meliputi pengembangan kemampuan dasar (Moral Pancasila,Agama,
Disiplin, Perasaan, Emosi dan kemampuan bermasyarakat), pengembangan bahasa,
daya pikir, daya cipta, keterampilan dan pendidikan jasmani. Usia anak yang
diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.
b. SDLB
(Sekolah Dasar Luar Biasa) berlansung sekurang-kurangnya enam tahun dan usia
anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri
atas: program umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,matematika, IPS, IPA,
Kerajinan tangan, dan kesenian sertapendidikan jasmani dan kesehatan; program
khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan muatan local (Bahasa daerah, kesenian, dan
Bahasa Inggris)
c. SLTPLB
(sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlansung sekurang-kurangnya 3
tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri
atas program umum (Pendidikan Pancasila, kewarganegaraan, pendidikan Agama, Bahasa
Indonesia, matematika, IPA,IPS, Pendidikan jasmani dan kesehatan, Bahasa
Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program muatan local
(Bahasa Daerah,Kesenian daerah)
d. SMLB
(Sekolah Menengah Luar Biasa) ) berlansung sekurang-kurangnya 3 tahun, , dan
siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program
umum sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket
keterampilan rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan
kesenian. Dijenjang ini, anak tuna daksa diarahkan pada penguasaan salah satu
jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.
Lama belajar dan perimbangan bobot mata
pelajaran untuk tiap jenjang adalah TKLB
lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran
30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih
banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran
45 menit dan bobot mata pelajaran
keterampilan dan praktek lebih banyak daripada mata pelajaran yang
lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran
keterampilan lebih banyak dan bobot mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari.
7. Pelaksanaan
pembelajaran
Dalam
pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan
keterlaksanaanya, seperti berikut:
a. Perencanaan
kegiatan belajar mengajar
Sehubungan dengan
perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak tuna daksa, Ronald L. Taylor (1984)
mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan disekolah
formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang di
individualisasikan. Dalam rangka mengembangkan program pendidikan yang
diindividualisasikan, banyak informasi/data yang diperlukan dan salah satunya
dihasilkan melalui assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam merancang
suatu program pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut:
(1) Membentuk
tim PPI atau tim penilaian program pendidikan yang diindividualisasikan (TP3I)
, yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala sekolah, orang
tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.
(2) Menilai
kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan
assessment.
(3) Mengembangkan
tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek
(4) Merancang
metode dan prosedur pencapaian tujuan
(5) Menentukan
metode dan evaluasi kemajuan
b. Prinsip
pembelajaran
Ada beberapa prinsip
utam dalam memberikan pendidikan pada anak tuna daksa, diantaranya sebagai
berikut:
(1) Prinsip
multisensory (banyak indra)
Proses pendidikan anak
tuna daksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada
dalam diri anak karena banyak anak tun daksa yang mengalami gangguan indra.
Dengan pendekatan multisensory, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan
sehingga dapat membantu proses pemahaman
(2) Prinsip
individualisasi
Individualisasi
mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak
secara individu. Model layanan pendidikannya
dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan
pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan
yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
c. Penataan
lingkungan
Berhubung anak tuna
daksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan membutuhkan
perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya
dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran
kgiatan anak tuna daksa disekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang
dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah keluar masuk, mudah
bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu
yang ada diruangan itu mudah digunakan. Beberapa kondisi khusus mengenai gedung
itu adalah sebagai berikut:
(1) Macam-macam
ruangan khusus seperti ruang poliklinik/ UKS untuk pemeriksaan dan perawatan
kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang untuk
bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang
bermain serta lapangan
(2) Jalan
masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak
tuna daksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace,
kruk dan lain-lain dapat bergerak dengan aman
(3) Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang
dibuat miring dan landai
(4) Lantai
bangunan baik didalam dan diluar geedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak
licin
(5) Pintu-pintu
ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat
mengatup kedalam
(6) Untuk
menghubungkan bangunan/ kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya disediakan
lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan ditembok agar anak dapat mandiri
berambulasi.
(7) Pada
beberapa dinding lorong dapat dipasang beberapa cermin besar untuk digunakan
anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah
(8) Kamar
mandi/ kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera
dapat menjangkaunya
(9) Dipasang
WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya
(10)
Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja
dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak,
misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursidi
modifikasi dan dipasang belt (sabuk) agar aman.
8. Personel
Personel
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak tuna daksa adalah berikut
ini:
a. Guru
yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pndidikan anak tuna
daksa
b. Guru
yang memilki keahlian khusus, misalnya keterampilan dan kesenian
c. Guru
sekolah biasa
d. Dokter
umum
e. Dokter
ahli ortopedi
f. Neurolog
g. Ahli
terapi lainny, sperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan bimbingan
konseling serta orthotist prosthetist
9. Cara
membantu siswa tuna daksa berhasil dikelas inklusif
Lingkungan
yang paling kondusif guna pembelajaran siswa-siswa berkelainan fisik adalah
kelas regular. Dalam rangka mempelajari dengan baik cara hidup disuatu
lingkungan komunitas yang berbeda sebagai orang dewasa, anak-anak dan remaja
dibutuhkan suatu kelas dan sekolah yang paling inklusif yang tepat bagi
kebutuhan pendidikan, social dan fisik mereka. integrasi siswa-siswa ini
memerlukan penggabungan tenaga konsultan yang efektif dikelas. Hal yang sama
penting bagi adaptasi dan terapi fisik yaitu susasana sikap dikelas.
Sikap-sikap yang diterima dikelas menciptakan konteks yang tepat dalam membantu
kemandirian yang akan diperlukan siswa berkelainan fisik dalam kehidupan
sebagai orang dewasa. Adapun beberapa cara membantu siswa tuna daksa/
berkelainan fisik berhasil dikelas inklusif adalah sebagai berikut:
a. Pengajaran
kemandirian yang optimal
Penekanan dalam
pengajaran bagi siswa-siswa ini harus pada kemandirian yang optimal dan
memperhatikan perbedaan antarpribadi (self-determination).
Melalui pengajaran kepada mereka maka keahliannya dibutuhkan bagi kemandirian
pribadi, percaya diri dan self-esteem
dapat diperkokoh juga. Kamampuan siswa dalam menegakkan hubungan social dapat
ditingkatkan sehingga dia menjadi lebih mandiri.
Beberapa cara dalam
mendorong perbedaan antar pribadi dalam diri siswa dengan keterbatasan gerak (disaktivitas) adalah sebagai berikut:
(1) Mengajarkan
pilihan, pembuatan keputusan dan kemampuan perlindungan diri (self-advocacy)
(2) Membangun
lingkungan sekolah yang menjamin kesemapatan dalam memilih
(3) Berfungsi
sebagai sumber daya, baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat
(4) Menjadi
penasihat perubahan masyarakat dan dukungan pendampingan orang tua
(5) Dukungan
masyarakat dalam mempermudah kebutuhan anak-anak ini
(6) Membentuk
kemitraan dengan para pengusaha dan masyarakat
b. Belajar
kelompok
Belajar kelompok
disekolah seringkali dilakukan dengan tujuna menciptakan kamampuan atau
ketrampilan yang lebih homogen. Pengelompokan yang fleksibel (flexible grouping) adalah suatu teknik
yang memberikan siswa dengan dan tanpa kelainan bekerja sama kearah pencapaian
tujuan-tujuan tertentu. Pengelompokan siswa ini dapat dibentuk dan diubah
disesuaikan agar tujuan pembelajarannya yang utama dapat dipenuhi dan
mengembangkan hall yang baru. Flexible grouping meliputi sekurang-kurangnya dua orang dan
sebanyak-banyaknya 10 orang, tiap anggota kelompok didorong untuk memberikan
tugas yang dekat dan tertentu menurut kemampuannya. Flexible grouping mungkin cara yang terbaik dalam melibatkan siswa
yang berkelainan dalam kegiatan seni, proyek penelitian studi social atau
aktivitas lainnya yang menjadikan individu yang berbeda memberikan sumbangan
bagi usaha-usaha kelompok.
Pengelompokan kerja
sama (cooperative grouping) adalah
pembentukan kelompok kecil dari siswa yang memiliki kemampuan dan keahlian
berbeda. Kelompok ini terdiri atas 4 atau 5 orang siswa. Setiap kelompok harus
dibentuk berdasarkan minat atau persahabatan. Tiap anggota kelompok saling
membantu dalam memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditentukan untuk pembelajaran.
Anggota kelompok didorong untuk saling membantu. Kerja sama kelompok dapat
dipakai dalam pengajaran kemampuan membaca dan matematika. Penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan cooperative
grouping menghasilkan hubungan yang lebih kuat diantara siswa dan
pencapaian akademis yang lebih tinggi.
Grouping dapat
memberikan siswa kepuasan akan pengajaran dan saling mendukung. Bahkan yang
lebih penting dapat mempermudah penegakan persahabatan yang akan tumbuh.
c. Team
teaching
Hal yang paling penting
bagi pembentukan kelas dan sekolah yang lebih inklusif adalah pendidik bekerja
sama lebih kooperatif dalam memberikan lingkungan pembelajaran yang kondusif
serta pengajaran yang efektif bagi semua siswa yang berkelainan, namun juga
memberikan hasil pembelajaran yang meningkat bagi siswa lain. Telah ditunjukkan
bahwa dengan perencanaan dan jadwal secara seksama, serta pembuatan tujuan yang
terartikulasi dengan jelas, siswa berkelainan dapat diberi pengajaran secara
efektif bersama siswa yang tidak mempunyai kelaianan.
Beberapa keuntungan
team teaching yang berlansung baik untuk siswa berkelainan maupun tanpa
kelaianan diantaranya: pengembangan kemampuan perancangan yang lebih baik,
peningkatan kemampuan memecahkan masalah, menambah harga diri (self esteem), meningkatkan kemampuan
komunikasi, kemampuan social yang efektif dan lebih memuaskan serta menambah
pembelajaran akademis.
Teaching
partnership harus dibangun diatas kerja
sama,kepercayaan, dan komunikasi.
Teaching partner memerlukan perubahan dan kompromi diantara rekanan kerja
yang menyeluruh. Guru dalam satu program team
teaching menitikberatkan kebutuhan bagi pertumbuhan nilai-nilai kolaborasi
dan pmemperhatikan partner-partnernya untuk diberikan kesempatan saling
mengenal satu sama lain serta saling bertanya. Dalam kenyataan, prinsip
kemitraan dalam team of teacher sering
mengarah pada perkawinan. “Perkawinan” guru kelas regular dan guru pendidikan
khusus yang dibangun diatas kekuatan-kekuatan perbedaan sehingga mereka akan
menjadi kuat dan produktif. Guru regular dapat memberikan porsi yang lebih
besar kepada pasangannya tentang bidang mata pelajaran atau bidang pengetahuan
tertentu. Sedangkan guru/ pendidik khusus mendapat pengetahuan yang lebih
banyak mengenai kurikulum yang disamakan dan metodologi dalam memenuhi
kebutuhan individual. “ Perkawinan” dan kekuatan ini dapat memberikan suatu
lingkungan pembelajaran yang lebih produktif bagi semua siswa.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tujuan
pendidikan anak tuna daksa mengacu pada peraturan pemerintah No. 72 tahun 1991
agar peserta didik mampu mengembangkan sikap pengetahuan, dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal
balik dengan lingkungan social, budaya, dan alam sekitar serta dapat
mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan .
Dalam pendidikan anak tuna daksa perlu dikembangkan 7 aspek. Anak tuna daksa
dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut: Sekolah khusus berasrama
(Full-Time Residential School), Sekolah khusus tanpa asrama (Special Day
School), Kelas khusus penuh (full-Time Special Class), Kelas reguler dan khusus
(Part-time Reguler Class and Part-Time Special Class), Kelas reguler dibantu
oleh guru khusus (Reguler Class with Supportive instructional service), Kelas
biasa dengan layanan konsultasi untuk guru umum (Reguler Class Placement with
consulting Service for Reguler Teachers ) dan Kelas biasa (Reguler Class).
2. Saran
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita,terutama kita calon guru PAUD dapat memahami
bagaimana anak berkebutuhan khusus disekolahkan disekolah biasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Marilyn Friend. 2005. Special Education Contemporaray Perspektive For School Profecy.
Printed in the United States: America.
Sujihati Somantri. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Refika Aditama
Direktorat Pendidikan Luar Biasa. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan
Terpadu/Inklusi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
David smith. 1998. Sekolah inklusif. Bandung: Seri Pencerdasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar